Home | Sign In | New here? Sign Up | Log out

Laju Defortasi Dan Kejahatan Korporasi Sawit Di Indonesia

Disusun Oleh : Sigit Purwadi 
Komersialisasi sawit di Indonesia dimulai sejak tahun 1911. Seiring berjalannya waktu, komersialisasi berkembang ke arah kapitalisasi perkebunan melalui ekspansi yang massif  terutama 10 tahun terakhir ini. Ekspansi tersebut dipicu oleh tingginya permintaan pasar global Crude Palm Oil (CPO) baik untuk keperluan produk bahan makanan, aneka produk kosmetik maupun  energi (agrofuel).

Ekspansi sawit mendapat dukungan lembaga keuangan internasional yang mendorong lahirnya berbagai kebijakan pemerintah dengan dalih peningkatan devisa negara, mengatasi     krisis ekonomi, pengangguran dan pengentasan kemiskinan di pedesaan.


Saat ini luas perkebunan sawit mencapai 7,9 juta hektar, dengan komposisi ke pemilikan  65% dikuasai oleh korporasi dan 35% oleh non korporasi atau petani berdasi.  Kekuatan korporasi  dalam kerangka ekspansi, memperoleh dukungan  dari 20 bank besar di dunia antara lain Bank Dunia (World Bank), Asian Development Bank (ADB) yang mengakibatkan hilangnya hak hidup masyarakat dan terjadinya kerusakan hutan, hancurnya ekosistem, krisis pangan dan krisis air bersih, serta hancurnya budaya kolektif masyarakat adat.

Argumentasi bahwa ekspansi sawit akan menyerap tenaga kerja (buruh) dan mengentaskan kemiskinan di pedesaan merupakan suatu kebohongan. Asumsi hitungan pemerintah dan korporasi yang menyebutkan bahwa  20 juta hektar  lahan perkebunan akan  menyerap sekitar 10 juta buruh sangatlah jauh dari kenyataan. Fakta yang ditemukan dilapangan bahwa dalam 100 Hektar lahan hanya menyerap sekitar 22 orang tenaga kerja sehingga dengan demikian dengan 20 juta Hektar hanya menyerap 4,4 juta buruh.

Praktek Kuli Kontrak dibangkitkan kembali dalam  bentuk baru yaitu Buruh Harian Lepas (BHL), Buruh Kaperlek (kapan perlu dipakai), dan tukang berondolan bekerja setiap hari tanpa jaminan kerja (job securty) ikatan kerja  yang jelas serta tidak memperoleh jaminan sosial sebagai pekerja meskipun sumbangan mereka sangat besar dalam upaya menunjang proses produksi perkebunan.

Korporasi sawit melahirkan konflik agraria terutama konflik lahan sebagai dampak kapitalisasi perkebunan. Konflik lahan  merupakan warisan kolonial perkebunan yang hingga saat ini masih terus berlanjut melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan yang menjamin masa waktu 95 tahun bagi korporasi untuk menguasai lahan. Hal ini jelas-jelas merupakan kelanjutan kebijakan jaman kolonial yaitu onderneeming agrarichst wet 1870 yang menjamin penguasaan lahan selama 75 tahun. 

Daya  bertahan dan daya berkembang petani  pangan di sekitar perkebunan sawit  menurun dan bahkan terancam hilang. Pertanian pangan secara besar-besaran berganti menjadi perkebunan sawit. Akibat konversi dari tanaman pangan ke tanaman sawit menyebabkan luas lahan tanaman pangan berkurang secara signifikan yang mengakibatkan hancurnya kedaulatan pangan.

Pertumbuhan industri kelapa sawit di Indonesia sungguh fenomenal, dengan produksi yang bertumbuh 36 kali lipat sejak pertengahan tahun 1960-an. Industri ini didominasi oleh tiga kelompok produsen: perusahaan milik negara, perkebunan rakyat, dan perkebunan swasta skala besar. Pemerintahan Soeharto, dengan bantuan Bank Dunia, melakukan investasi di Badan Usaha Milik Negara pada akhir tahun 1960-an dan areal perkebunan kelapa sawit di perkebunan milik negara meningkat terus pada dekade berikutnya. Perkebunan rakyat juga meluas setelah tahun 1979, juga dengan campur tangan pemerintah dan dukungan Bank Dunia. 

Perkebunan kelapa sawit juga menjadi becana bagi masyarakat petani dan kelompok masyarakat adat, realita yang sampai saat ini dimana ada perusahaan kelapa sawit pasti di situ juga ada terjadi konflik,horijontal maupun konflik soasial,perkebuan kelapa sawit juga menghilangkan nilai – nilai budaya lokal,nilai sosial masyarakat.

Menurunnya tutupan hutan di Indonesia dan di Sulawesi Tengah  khususnya, telah memberikan dampak  yang sangat serius. Kekeringan pada musim kemarau, bencana banjir yang sering melanda serta bentuk-bentuk bencana ekologis lainnya yang dihadapi oleh semua pihak di propinsi ini.

Pada sisi lain, perlindungan dan pembelaan berlebihan terhadap industri tersebut berdampak pada arogansi bisnis yang meniadakan prinsip pembangunan yang keadilan anter generasi, menisbikan hak ekosob masyarakat bahkan hyper responsive terhadap kritik kritis yang diberikan.  Tentunya kondisi tersebut akan memperparah kondisi sosio-ekologi masyarakat di pedesaan dan sekitar kawasan hutan yang dirubah menjadi perkebunan kelapa sawit skala besar.

Pembangunan yang tidak terkontrol dan cenderung arogan, akan berdampak pada kehancuran struktur ekonomi lokal masyarakat dan desertivikasi ekonomi masyarakat yang tentunya akan menurunkan kemampuan produktif masyarakat.  Secara ekologi akan semakin banyak kehilangan keragaman hayati memberikan ancaman bencana ekologis serta meniadakan kemampuan alam untuk berevolusi.  Konversi illegal hutan menjadi perkebunan kelapa sawit adalah penyumbang besar bagi deforestasi dan degradasi hutan.

Sampai pada saat ini tidah dapat diperkirakan berapa banyak hutan akan ditanami atau di konversi menjadi perkebunan sawit. Perkiraan-perkiraan yang ada berbeda pada tingkatan yang lebih luas. Kajian IFPRI memprediksikan hanya ada peningkatan luas 500.000 ha di Indonesia dan Malaysia, dan pertumbuhan perkebunan yang baru kira-kira 2 juta ha.

Persaingan Pangan Penanaman sawit jika dibandingkan dengan tanaman lain nya seperti padi, kedelai, jagung atau bahkan produksi kayu dan peternakan berkembang biak sangat produktif (World Bank 2010). Penggunaan minyak sawit untuk Bahan bakar minyak alternatif mengarah pada perluasan daerah perkebunan, dengan melakukan perambahan hutan, akan meningkat tajam. Persaingan ini selanjutnya mengarah kepada dua arah persaingan pangan terhadap penanaman tanaman pangan: satu, ancaman akan konversi lahan-lahan tanaman pangan menjadi perkebunan sawit; dua, meningkatnya kebutuhan bahan bakar minyak sehingga perlu dilakukan nya penananaman kelapa sawit. Kedua hal ini memungkinkan terjadinya kenaikan harga-harga pangan sebagai bahan pokok.

Kehadiran dan meningkatnya peran dan kuasa korporasi dalam kehidupan publik telah secara luas dipahami oleh masyarakat. Korporasi, disatu sisi memang memiliki potensi untuk secara positif mendukung perkembangan hak asasi manusia, baik melalui penciptaan lapangan pekerjaan, maupun kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun dalam banyak kasus, korporasi  justru menjadi ancaman serius bagi pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia.



0 komentar:

Posting Komentar

 

Foto saya
palu, palu/sul-teng, Indonesia
D/A. Jl. Lasoso No 17A Kecamatan Palu Barat Kota Palu, Sul-Teng kelurahan Kabonena 94227 Telp (0451)460 723

KANTOR PERWAKILAN

JL. Mesjid II No 17
pejompongan-Jakarta Pusat 10210
Telp: 08111555287
email : rinirini.darsono@gmail.com